Selasa, 21 Juli 2009

Becermin Kepada Khalid bin Walid

Oleh: Muhammad Nuh

Melakoni jalan hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak di pegunungan. Kadang menurun, suatu saat menanjak melampaui pucuk pohon tertinggi. Saat itulah, semua terlihat kecil. Bahkan, puncak gunung pun ada di telapak kaki. Berhati-hatilah, karena di balik gunung ada jurang.
Kurir Khalifah Umar Al-Khaththab agak heran dengan reaksi Khalid bin Walid. Selepas membaca surat khusus Khalifah, panglima perang Islam yang kesohor itu bicara pelan kepada sang kurir. “Jangan sampaikan pada siapa pun isi surat ini.” Dan kurir itu pun setuju.
Itulah pesan Khalid bin Walid sesaat setelah membaca surat penghentian jabatan panglima perang dirinya. Sama sekali, hal itu bukan lantaran ia menolak titah khalifah yang baru dilantik. Bukan pula karena khawatir kalau popularitasnya akan merosot. Ia cuma ingin menjaga agar semangat pasukan tetap prima. Dan kemenangan Perang Yarmuk yang sedang bergolak pun bisa diraih.
Popularitas Khalid dalam kemiliteran Islam saat itu, memang nyaris tak tertandingi. Ia memang sempurna di bidangnya: ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan kharismatik di tengah prajuritnya. Benar-benar idola yang pas buat mujahid Islam saat itu.
Keputusan Umar mengganti Khalid justru di saat puncak ketenaran bukan sebagai jegalan. Justru, Umar ingin menyelamatkan Khalid dari fanatisme yang berlebihan. Beliau pun khawatir kalau pasukan Islam mengalami pergeseran motivasi.
Menariknya, semua itu diterima Khalid dengan lapang dada. Dalam hitungan detik, ia bisa memahami maksud surat Umar itu. Ia tuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan ke penggantinya: Abu Ubaidah.
Itulah penggalan kisah seorang Khalid bin Walid. Pelajaran berharga buat mereka yang mengalami fitnah popularitas. Sekecil apa pun ketenaran, kalau tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh, akan menjadi bencana besar. Setidaknya, buat kebaikan diri sang tokoh.
Kalau merujuk pada sosok Khalid bin Walid, ada beberapa bekal yang bisa diambil pelajaran. Pertama, ketokohan Khalid asli datang dari dalam. Bukan sekadar rekayasa media, bukan juga klaim sepihak. Itulah kelebihan khusus Khalid.
Kedua, Khalid tidak terobsesi dengan ketokohannya. Ia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai bagian dari buah perjuangan. Hal itulah yang pernah diungkapkan Khalid mengomentari pergantiannya, “Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!” Itulah ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasul seperti Khalid bin Walid.
Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil Allah swt. Umar bin Khaththab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi, ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya ‘Si Pedang Allah’ menempati posisi khusus di sisi Allah swt.[]edit-dakwatuna
*www.adzdzikro.com

Senin, 20 Juli 2009

Mencari Pasangan Hidup

Waktu terus berjalan, tapi tidak pernah kembali

Suatu hari, seorang guru dan seorang pemuda sedang duduk di bawah pohon di tengah lapangan rumput. Kemudian si pemuda bertanya ...

Guru ... saya ingin bertanya bagaimana cara menemukan pasangan hidup ? Bisakah membantu saya?

Guru diam sesaat kemudian menjawab ...
" Itu pertanyaan yang gampang - gampang susah "

Pemuda itu di buat bingung oleh jawaban gurunya

" Begini ... coba kamu lihat ke depan, banyak sekali rumput disana ... coba kamu berjalan kesana tapi jangan berjalan mundur, tetap berjalan lurus ke depan, ketika berjalan coba kamu temukan sehelai rumput yang paling indah kemudian berikan kepada saya .. tapi hanya sehelai rumput "


Pemuda itu berjalan menyusuri padang rumput yang luas. Dalam perjalanan itu dia menemukan sehelai rumput yang indah namun tidak di ambilnya .. karena dia berfikir akan menemukan yang lebih
indah ... dan tanpa pemuda itu sadari, ia telah sampai di akhir padang rumput. Pada akhirnya dia
mengambil sehelai rumput yang paling indah yang ada .. kemudian kembali ke Gurunya


Ini Guru" Saya tidak melihat ada yang spesial pada rumput yang ada di tanganmu "

Dalam perjalanan saya menyusuri padang rumput tadi, saya menemukan beberapa helai rumput yang indah, namun saya berfikir saya akan menemukan yang lebih indah dalam perjalanan saya.
Tetapi tanpa saya sadari saya telah berada di akhir padang rumput dan kemudian saya mengambil sehelai rumput yang paling indah yang ada di akhir padang rumput itu karena Guru melarang saya untuk kembali

Guru menjawab dengan tersenyum " Itulah yang terjadi di kehidupan nyata "

* Rumput andaikan orang - orang yang ada di sekitarmu
* Rumput yang indah bagaikan orang yang menarik perhatianmu
* Padang rumput bagaikan waktu

" Dalam mencari pasangan hidup, jangan selalu membandingkan dan berharap bahwa ada yang lebih baik. Karena dengan melakukan itu ... kamu telah membuang buang waktu ... dan ingat Waktu Tidak Pernah Kembali "
***
Setelah membaca tulisan ini kini aku pun mengerti.

*Diambil dari www.sazadiabdilah.blogspot.com

Minggu, 19 Juli 2009

Menata Timbangan Diri


Oleh : Muhammad Nuh

dakwatuna.com - “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.
Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.
Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya
Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.
Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin
Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.
Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.
Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”
Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.
Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)

DOA KETIKA BANGUN TIDUR (1)

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَحْيَانَابَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَﺇِلَيْهِ النُّشُورُ
Alhamdulillāhilladzī ahyānā ba'da mā amātanā wa ilaihin nusyūr

عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنهما وعن أبي ذر رضي الله عنه قالا : كان رسول الله صلىالله عليه وسلم ﺇذا أوى ﺇلى فراشه قال : باسمك اللهم أحيا و أموت, وﺇذاستيقظ قال : الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا وﺇليه النشور(رواه البخاري)

Dari Hudzaifah bin Al Yaman r.a. dan dari Abi Dzarrin r.a. berkata,"Apabila beristirahat di peraduannya, Rasulullah SAW mengucapkan doa, "Dengan menyebut nama-Mu Ya Allah aku hidup dan mati.," dan apabila beliau terbangun dari tidurnya mengucapkan, "Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami, sesudah mematikan kami, dan kepada-Nyalah (kami) kembali." (HR Bukhori)

Sabtu, 18 Juli 2009

Shalat istikharah untuk menentukan

Shalat istikharah dilaksanakan ketika dihadapkan pada suatu permasalah agar pilihan kita mantap dan hati kita merasa tenang dengan apa yang kita pilih. Shalat istikharah dapat ketika akan menentukan pilihan pasangan hidup atau perkara-perkara yang lain

Saudara dan saudariku yang budiman, pernikahan adalah ikatan yang mempertalikan antara kedua pasangan suami-isteri. Memperhatikan supaya memilih isteri atau suami yang tepat adalah fase terpenting dalam permulaan pernikahan, dan dalam hal ini diperlukan kesungguhan yang mendalam untuk mendapatkan suami atau isteri yang tepat dari segala aspeknya. Siapa yang ingin ni'kah, hendaklah dia memilih pendamping hidupnya dengan
pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir ra, ia menuturkan: Rasulullah mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:


إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ

`Jika salah seorang dari kalian menghendaki suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu, kemudian hendaklah mengucapkan: 'Ya Allah, aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku meminta penilaian-Mu dengan kemampuan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dari karunia-Mu yang sangat besar. Sesungguhnya Engkau kuasa sedangkan aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku-, maka putuskanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, baik dalam urusan agamaku, kehidupanku maupun kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku- maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya serta putuskanlah yang terbaik untukku di mana pun berada, kemudian ridhailah aku dengannya.' Dan hendaklah is menyebutkan hajatnya.'' (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai dan lainnya)

Di sini ada beberapa perkara penting yang wajib kita perhatikan:

1. Istikharah dilakukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid, atau setelah shalat sunnah lainnya).

2. Do'a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.

3. Boleh mengulang-ulang istikharah, karena ini adalah do'a, dan mengulang-ulang do'a adalah dianjurkan.

4. Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang dengan pilihannya, maka tujuan istikharah telah terpenuhi. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulangi istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.

5. Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.

6. Ibnu `Umar radhiallahu’anhuma berkata: Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta'ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya, Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah).'


Referensi:
Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin 'Abdir Razzaq. Pustaka Ibnu Katsier

“Mas Tegar…Mas Tegar…”


Aku terhenyak mendengar dia ta’aruf dengan gadis lain. Tak lama setelah itu, bendungan air mataku pun jebol membanjiri pipi. Masih terekam jelas di telingaku. Semua yang diceritakan Zai urut dari A sampai Z begitu menusuk hatiku saat itu. Yah saat itu tiba-tiba saja hati ini rapuh.

Ujian yang sama, kembali Allah SWT hadirkan untuk jiwa yang lemah ini. Saat fitrahku sebagai manusia tertarik dengan lawan jenis tidak terkelola dengan baik maka aku hanya akan mengalami derita tiada terperi. Meski demikian aku masih khusnudzon bahwa Allah SWT memang sangat sayang padaku. Tiada yang paling pantas aku sayangi dan cintai kecuali hanya Allah SWT. Selama cinta dan sayang itu bukan karena Allah Ta’ala, sudah pasti jawabannya adalah aku akan merasakan sakit yang luar biasa. Tak hanya sakit hati, tubuh pun ikut merasakannya pula hingga berat badanku turun 2 kg dalam tempo satu bulan. Aku sendiri prihatin dengan kondisiku saat itu.

Hari-hari kemudian aku lalui dengan banyak istighfar. Memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pemaaf atas segala rasa yang tak sewajarnya. Muhasabah setiap selesai sholat fardhu diiringi isak tangis selalu menghiasi hari-hariku. Doa yang terukir saat itu semoga Allah Ta’ala memberikan yang terbaik untuknya. Tak lupa semoga Allah SWT pun memberikan yang terbaik untukku. Dan aku yakin itu.

***

Tak terasa waktu terus berlalu. Rasa itu tiba-tiba hilang. Selera makanku kembali normal. Ibadahku pun terasa tenang. Aku sangat bersyukur, Dia telah melimpahkan ketenangan pada hati ini. Bahagianya diri.

“Assalamu’alaikum. Lagi ngapain?, tanya Mas Tegar dalam sms.

“Wa’alaikum salam. Lagi upload materi,” jawabku sambil berdoa semoga tidak ada pertanyaan lagi darinya.

“Aku tidak jadi sama Ika. Beda pemikiran. Sasa ujian skripsi kapan?” lanjutnya.

“Target Mei harus ujian. Ada apa? tanyaku kenapa. Namun dia tak membalasnya.

Yah saat hatiku kembali tenang, Mas Tegar kembali hadir. Hatiku pun sesaat kembali terusik.Banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan dengan kalimat tanya ‘Kenapa?’ dan “Apa”. Kenapa dia memberi kabar soal pembatalan ta’arufnya? Kenapa Mas Tegar bertanya ujian skripsiku selesai kapan? Apa Mas Tegar memilihku? Namun karena tidak ingin memperpanjang masalah, akupun melupakan semua pertanyaan.

***

Hari-hari kini dapat aku lalui dengan enjoy, tanpa beban. Bukan karena Mas Tegar telah menghentikan proses ta’arufnya. Namun yang terpenting saat ini adalah studiku harus segera berakhir. Aku tidak mau lumutan di kampus saking lamanya mendapat gelar mahasiswa. Atau saking cintanya dengan kampus. Aku hanya terkekeh dengan kata orang-orang soal studiku. “Mau jadi mahasiswa abadi ya…!”

Pagi ini begitu segar,.sesegar hatiku. Ada dua harapan besar dalam hidupku di tahun 2009 ini yang membuatku berubah. Yang pertama dan utama adalah segera wisuda. Sudah 16 semester di kampus. Aku tidak mau mendapat teguran lagi dari fakultas. Karena sudah seharusnya aku keluar kampus. Kedua, menikah meski aku belum tahu dengan siapa aku akan menikah. Tidak muluk-muluk yang jelas dia harus sholih, satu pemikiran, dan cerdas,.Allah Maha Mendengar pasti telah memilihkan yang terbaik untukku. Yakin saja.

Malam harinya handphoneku berdering. Wah itu dari Mas Tegar. “Gimana nih?” batinku bertanya. Diangkat nggak ya..? tanyaku dalam hati. Akhirnya aku pun mengangkatnya.

“Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Ada pa Mas?”

“Lagi ngapain?” tanyanya.

Dan pembicaraan pun berlanjut. Semua pertanyaannya dapat aku jawab. Disinilah kelemahanku. Aku paling tidak bisa menolak ataupun bohong. Atau temanku bilang “Kamu lugu, terlalu polos.”

“Bilang aja kamu lagi sibuk. Atau ke kamar mandi atau sudah ngantuk.”

Tapi aku tidak bisa berkata demikian. Aku sedang tidak sibuk, atau ingin ke belakang ataupun ngantuk. Jadi ya aku terima telponnya. Kalau aku sudah ngantuk maka aku pun akan segera menyampaikannya. Dan dia paham itu lalu segera menutup telponnya.

Jujur saja. Mas Tegar tipikal orang yang nyambung diajak diskusi. Selalu ada topik untuk bahan diskusi. Namun lama-lama aku merasa tidak nyaman berada dalam zona itu. Pergaulan Islam yang telah membentuk diri ini bukan seperti itu. Itu sama saja dengan ‘zina’. Tapi entahlah aku serasa kehabisan akal. Sudah tiga kali aku menegurnya via email karena aku tidak bisa menyampaikannya secara lisan. Plus artikel taujih ustadz-ustadz yang ada di website islami. Dulu itu sangat manjur. Selama kurang lebih satu bulan pasti dia tidak akan telpon lagi. Tapi bulan berikutnya so pasti dia masih saja telpon. Aku tidak ingin ke-GR-an tapi aku ingin menyampaikan kebenaran. Tidak baik telpon malam-malam dan lama dengan lawan jenis. Itu saja yang ingin aku sampaikan.

Termasuk sekarang Mas Tegar kembali nelpon malam-malam, pakai lama lagi. Aku hanya tak ingin telpon itu berlanjut ke telpon selanjutnya. Hingga akhirnya aku menuliskan sebuah cerpen special dengan judul “Mas Tegar..Mas Tegar…” dan aku mengirimkannya via email.

***

Ada sebuah hikmah yang dapat diambil dalam cerpen ini. Bahwa ketika cinta itu tidak diletakkan karena Allah SWT maka deritalah ujungnya. Namun bila cinta itu hanya untuk Allah SWT pastilah Allah Yang Maha Kuasa kan beri yang terbaik untuk kita. Karena bisa jadi Sasa berjodoh dengan laki-laki sholih yang lain ataupun sebaliknya Mas Tegar berjodoh dengan wanita sholihah lainnya.

Ketika cinta telah diletakkan pada tempatnya yaitu karena ridho Allah SWT maka tidak ada derita di antara keduanya. Kalaupun berjodoh pun pasti kebahagiaan yang luar biasa tak terkira rasanya.

*Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam kebaikan. Amin.

Created by :

Zahra *v*

--------The End---------

Ikhlas dan Niat dalam Segala Perilaku Kehidupan

Dari Amiril Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khathab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib Al Qurasyiy Al Adawiy ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Setiap amal disertai dengan niat. Setiap amal seseorang tergantung dengan apa yang diniatkannya. Karena itu, siapa saja yang hijrahnya (dari Makkah ke Madinah) karena Allah dan Rasul-Nya (melakukan hijrah demi mengagungkan dan melaksanakan perintah Allah dan utusan-Nya), maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya (diterima dan diridhai Allah). Tetapi siapa saja yang melakukan hijrah demi kepentingan dunia yang akan diperolehnya, atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sebatas sesuatu yang menjadi tujuannya (tidak diterima oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia memandang kepada hati kalian.” (HR. Muslim)

Dari Abu Abdirrahman bin Abdullah bin Umar bin Khaththab ra., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bercerita: “Sebelum kalian ada tiga orang sedang berjalan-jalan, kemudian mereka menemukan sebuah gua yang dapat digunakan untuk berteduh dan mereka pun masuk, tiba-tiba ada batu yang besar dari atas bukit menggelinding dan menutupi pintu gua, sehingga mereka tidak dapat keluar. Salah seorang di antara mereka berkata: “Sungguh tidak ada yang dapat menyelamtkan kalian dari bahaya ini, kecuali bila kalian berdoa kepada Allah SWT dengan menyebutkan amal-amal saleh yang pernah kalian perbuat.”Kemudian salah seorang di antara mereka berdoa: “Ya Allah, saya mempunyai orang tua yang sudah renta. Kebiasaanku, mendahulukan mereka minum susu sebelum saya berikan kepada anak isteri dan budakku. Suatu hari, saya terlambat pulang karena mencari kayu namun keduanya sudah tidurdan aku enggan untuk membangunkannya, tetapi saya terus memerah susu untuk persedian keduanya. Walaupun demikian saya tidak memberikan susu itu kepada keluarga maupun kepada budakku sebelum keduanya minum. Dan saya menunggunya hingga terbit fajar. Ketika keduanya bangun, kuberikan susu itu untuk diminum, padahal semalam anakku menangis terisak-isak minta susu sambil memegangi kakiku. Ya Allah , jika berbuat itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini.”Kemudian bergeserlah sedikit batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang kedua pun melanjutkan doanya:”Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai saudara sepupu yang sangat saya cintai.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Saya sangat mencintainya sebagaimana orang laki-laki mencintai perempuan, saya selalu ingin berbuat zina dengannya, tetapi ia selalu menolaknya. Beberapa tahun kemudian, ia tertimpa kesulitan. Ia pun datang untuk minta bantuanku, dan saya berikan kepadanya seratus dua puluh dinar dengan syarat menyerahkan dirinya kapan saja saya menginginkan.”Pada riwayat lain: “Ketika saya berada di antara kedua kakinya, ia berkata:”Takutlah kamu kepada Allah. Janganlah kamu sobek selaput daraku kecuali dengan jalan yang benar.” Mendengar yang demikian saya meninggalkannya dan merelakan emas yang aku berikan, padahal dia orang yang sangat saya cintai. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini.”Kemudian bergeserlah batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang yang ketiga melanjutkan doanya: “Ya Allah, saya mempekerjakan beberapa karyawan dan digaji dengan sempurna, kecuali ada seorang yang meninggalkan saya dan tidak mau mengambil gajinya terlebih dulu. Kemudian gaji itu saya kembangkan sehingga menjadi banyak. Selang beberapa tahun, dia datang dan berkata:”Wahai hamba Allah, berikanlah gajiku!” Saya berkata:”Semua yang kamu lihat baik unta, sapi, kambing maupun budak yang mengembalakannya, semua adalah gajimu.” Ia berkata:”Wahai hamba Allah, janganlah engkau mempermainkan aku.” Saya menjawab:”Saya tidak mempermainkanmu.” Kemudian diapun mengambil semuanya itu dan tidak meninggalkannya sedikitpun. Ya Allah, jika perbuatan itu karena mengharapkan ridha-mu, maka singkirkanlah batu yang menutupi pintu gua ini.” Kemuadian bergeserlah batu itu dan mereka pun bisa keluar dari dalam gua.” (HR. Bukhari dan Muslim)