Selasa, 21 Juli 2009

Becermin Kepada Khalid bin Walid

Oleh: Muhammad Nuh

Melakoni jalan hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak di pegunungan. Kadang menurun, suatu saat menanjak melampaui pucuk pohon tertinggi. Saat itulah, semua terlihat kecil. Bahkan, puncak gunung pun ada di telapak kaki. Berhati-hatilah, karena di balik gunung ada jurang.
Kurir Khalifah Umar Al-Khaththab agak heran dengan reaksi Khalid bin Walid. Selepas membaca surat khusus Khalifah, panglima perang Islam yang kesohor itu bicara pelan kepada sang kurir. “Jangan sampaikan pada siapa pun isi surat ini.” Dan kurir itu pun setuju.
Itulah pesan Khalid bin Walid sesaat setelah membaca surat penghentian jabatan panglima perang dirinya. Sama sekali, hal itu bukan lantaran ia menolak titah khalifah yang baru dilantik. Bukan pula karena khawatir kalau popularitasnya akan merosot. Ia cuma ingin menjaga agar semangat pasukan tetap prima. Dan kemenangan Perang Yarmuk yang sedang bergolak pun bisa diraih.
Popularitas Khalid dalam kemiliteran Islam saat itu, memang nyaris tak tertandingi. Ia memang sempurna di bidangnya: ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan kharismatik di tengah prajuritnya. Benar-benar idola yang pas buat mujahid Islam saat itu.
Keputusan Umar mengganti Khalid justru di saat puncak ketenaran bukan sebagai jegalan. Justru, Umar ingin menyelamatkan Khalid dari fanatisme yang berlebihan. Beliau pun khawatir kalau pasukan Islam mengalami pergeseran motivasi.
Menariknya, semua itu diterima Khalid dengan lapang dada. Dalam hitungan detik, ia bisa memahami maksud surat Umar itu. Ia tuntaskan perang dengan begitu sempurna. Setelah sukses, kepemimpinan pun ia serahkan ke penggantinya: Abu Ubaidah.
Itulah penggalan kisah seorang Khalid bin Walid. Pelajaran berharga buat mereka yang mengalami fitnah popularitas. Sekecil apa pun ketenaran, kalau tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh, akan menjadi bencana besar. Setidaknya, buat kebaikan diri sang tokoh.
Kalau merujuk pada sosok Khalid bin Walid, ada beberapa bekal yang bisa diambil pelajaran. Pertama, ketokohan Khalid asli datang dari dalam. Bukan sekadar rekayasa media, bukan juga klaim sepihak. Itulah kelebihan khusus Khalid.
Kedua, Khalid tidak terobsesi dengan ketokohannya. Ia tidak menjadikan popularitas sebagai tujuan. Itu dianggapnya sebagai bagian dari buah perjuangan. Hal itulah yang pernah diungkapkan Khalid mengomentari pergantiannya, “Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!” Itulah ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasul seperti Khalid bin Walid.
Khalid bin Walid pun akhirnya dipanggil Allah swt. Umar bin Khaththab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi, ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya ‘Si Pedang Allah’ menempati posisi khusus di sisi Allah swt.[]edit-dakwatuna
*www.adzdzikro.com