Selasa, 01 Februari 2011

Antara Idealisme dengan Realitas

oleh Handayani

Menulis judul itu rasanya ingin tersenyum. Mau senyum getir boleh, kecut boleh..enak lagi klo senyum manis pke tulus jos gandhos. Manusia dengan sejuta bahkan lebih keinginan yang setidak-tidaknya mereka senang bila keinginannya itu tepenuhi. Misal pengin kerja enak, suasana kantor nyaman, gaji gedhe, pulang lebih awal bisa kumpul keluarga, silaturahim dg teman dan tetangga, ilmu dan bakat termanfaatkan. namun pada akhirnya ia hanya bisa gigit jari karena bisa jadi salah satu atau banyak syarat/keinginan kita tidak sesuai dengan kenyataan. bila kita tidak legowo ya pasti senyum kecut ato getir yang bisa dirasa. beda lagi klo kita menerimanya dengan ridho dengan semua ketentuan Allah. Iut sudah skenario terbaik dari Allah.

Tapi boleh ga ya? klo menelusuri kata hati mencari dan berusaha mewujudkan apa yang kita inginkan agar menjadi kenyataan? sah sah saja..ga ada yang salah..tapi yang harus di kilas balik adalah niat kita.

Jadi teringat ketika berkumpul bersama dalam majlis ilmu..kriteria apa saja yang kamu ajukan untuk mendapat seorang suami. senyumsenyum bareng dengan teman-teman yang saat itu masih lajang semua. "Boleh banyak kriteria, tapi siap-siap juga klo sekian banyak kriteria ada yang harus dihapus," pesan bu Nyai.

waduh..pada senyum getir kala itu..

waktu berlalu seiring perjalanan bumi pada rotasinya. ada beberapa teman yang sudah menikah dengan beberapa kriteria nya harus dihapus. ada beberapa teman pulang ke kampung halamannya katanya kalau pulang kampung halaman lebih cepat jodohnya..he2 aneh juga jawabannya begitu..

Tidak ingin membahas kriteria lebih lanjut..biarkan itu menjadi idealisme seseorang..syukur-syukur bisa menjadi sebuah realita yang ditunggu-tunggu pemilik idealisme. Klo pun toh tidak sesuai realita ya jagan kecewa..percaya skenario Allah itulah yang terbaik untuk kita.

Nasehat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.

oleh : Handayani

Sahabat Rasul SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, berkata, ”Kegelapan itu ada lima dan pelitanya pun ada lima. Jika tidak waspada, lima kegelapan itu akan menyesatkan dan memerosokkan kita ke dalam panasnya api neraka. Tetapi, barangsiapa teguh memegang lima pelita itu maka ia akan selamat di dunia dan akhirat.”

Kegelapan pertama adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Rasulullah bersabda, ”Cinta dunia adalah biang segala kesalahan.” (HR Baihaqi).Untuk memeranginya, Abu Bakar memberikan pelita berupa takwa. Dengan takwa, manusia lebih terarah secara positif menuju jalan Allah, yakni jalan kebenaran.

Kedua, berbuat dosa. Kegelapan ini akan tercerahkan oleh taubat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya bila seorang hamba melakukan dosa satu kali, di dalam hatinya timbul satu titik noda. Apabila ia berhenti dari berbuat dosa dan memohon ampun serta bertobat, maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali berbuat dosa, bertambah hitamlah titik nodanya itu sampai memenuhi hatinya.” (HR Ahmad). Inilah al-roon (penutup hati) sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Muthaffifin (83) ayat 14.

Ketiga, kegelapan kubur akan benderang dengan adanya siraj (lampu penerang) berupa bacaan laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah. Sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa membaca dengan ikhlas kalimat laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulallah, apa wujud keikhlasannya?” Beliau menjawab, ”Kalimat tersebut dapat mencegah dari segala sesuatu yang diharamkan Allah kepada kalian.”

Keempat, alam akhirat sangatlah gelap. Untuk meneranginya, manusia harus memperbanyak amal shaleh. QS Al-Bayyinah (98) ayat 7-8 menyebutkan, orang yang beramal shaleh adalah sebaik-baik makhluk, dan balasan bagi mereka adalah surga ‘Adn. Mereka kekal di dalamnya.

Kegelapan kelima adalah shirath (jembatan penyeberangan di atas neraka) dan yaqin adalah penerangnya. Yaitu, meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati segala hal yang gaib, termasuk kehidupan setelah mati (eskatologis). Dengan keyakinan itu, kita akan lebih aktif mempersiapkan bekal sebanyak mungkin menuju alam abadi (akhirat).

Terima Kasih Ibu

Oleh: Handayani


Sebut saja dia Zahra. Anak paling besar di rumah meski bukan anak pertama, karena kedua kakaknya telah mengikuti suaminya. Selama ini dia menjadi tulang punggung keluarganya. Bukan karena ayahnya telah meninggal atau sakit, tetapi karena Allah SWT telah mengalirkan rezkinya lewat anak perempuannya. Meski terkadang sesekali mendapat rezki lebih, ayah Zahra pun tetap berbagi dengan keluarganya. Entah untuk bayar listrik yang kadang sampai nunggak 2 bulan, atau nombokin uang belanja yang diberikan Zahra ke Bundanya. Setiap harinya Zahra yang mencukupi kehidupan keluarga baik urusan perut maupun pendidikan adik-adiknya. Terkadang juga membantu adik perempuannya yang telah menikah dan tinggal serumah dengan membeli susu anaknya, atau sekadar minyak telon dan minyak kayu putih untuk menghangatkan keponakannya. Sepertinya Zahra sudah ikhlas. Namun ikhlasnya Zahra tidak dibahas di sini. Itu urusan kanjeng Gusti dengan Zahra.

Suatu ketika Putri, adik Zahra paling kecil kelas 6 SD yang mau ulang tahun berceloteh.

“Mbak besok kalau aku ulang tahun aku minta uang ya..”, kata Putri.

“Berapa?” jawab Zahra.

“Lima puluh ribu aja. Aku mau njajakin temenku kok..”

“Insya Allah ya kalau mbak ada rezki tambahan lagi..”

“Insya Allah nya 100% ya..”

“Insya Allah”, jawab Zahra lagi.

“Halah minta sama mbak Zahra nek untuk yang kayak gini ki mesti ga dikasih. Mending mbak Mi. Kalau aku ulang tahun minta sepatu dibeliin. Lha kamu mbak..ga sayang sama aku..”

Zahra hanya tersenyum. Ibu yang di sebelah Zahra langsung memberi alasan membela Zahra.

“Tri.. Tri.. kamu koq ga bersyukur tho punya mbak Zahra. Setiap hari yang ngasih uang belanja ibu siapa? Buat makan kamu tuch sampai pipimu gembul.. yang nyanguni kamu itu siapa? Yang mbayar SPP mu itu siapa? Ya wajar nek uangnya mbakmu habis ga bisa ngasih uang buat njajakin temen-temenmu. Setiap hari tuch.. dihitung. Lha mbak Min cuman kalau kamu ulang tahun sama nek lebaran tok ngasihnya. Bersyukur kamu Tri besyukur.. nanti nek mbakmu dapat tambahan rezki kan kamu juga dikasih.”

“Ya.. ya” jawab Putri sambil mrengut.

Selepas itu Zahra menatap lekat-lekat adik bungsunya. Dalam hati Zahra berkata, Gusti.. Gusti.. paring ngono rezki ingkang halal, kathah lan barokah. Ikhlas itu seperti apa tho Gusti.

Selepas memandang lekat adiknya, Zahra menatap ibunya. Bu.. Bu engkau sepertinya tahu apa yang aku rasakan. Memandangmu sudah membuatku bersyukur telah engkau besarkan. Sudah berapa rupiah yang engkau keluarkan. Sudah berapa kasih yang telah engkau berikan. tapi kau tak minta dikembalikan. Lha aku, baru ngasih sak imprit saja sudah tak karuan rasanya. Bu..Bu.. maafkan aku yang belum bisa memberi terbaik untukmu. Hanya doa tulusku untukmu. Terima kasih ibu.

Zahra hanya bisa menelan ludah lalu tersenyum. Itu adalah salah satu cara menekan perasaannya. Lalu ia berdoa, ROBBIGHFIRLII WALIWAALIDAYYA WARHAMHUMAA KAMAA ROBBAYAANII SHOGHIIROO

“Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah ibuku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.” Aamiin.